Pendakicantik.com – Kisah mistis Gunung Goong beredar dan dipercaya orang-orang zaman dahulu masih dipertahankan dan dilestarikan sampai sekarang.
Salah satu yang berkembang adalah kisah mistis Gunung Goong di Sukabumi yang sering mengeluarkan suara gong gamelan.
Baca Juga: Tips Camping di Gunung Salak Agar Terhindar dari Resiko Buruk
Gunung Goong merupakan anak Gunung Manglayang yang berlokasi di Desa Cipurut Kabupaten Sukabumi Kecamatan Cireunghas.
Kisah mistik bunyi gong memang tidak banyak diketahui masyarakat luar, tapi bagi masyarakat setempat, kisah itu tak pernah lekang ditinggal zaman.
Gunung Goong Penuh Kisah Mistis dan Misteri di Sukabumi
Sejarawan sekaligus Ketua Yayasan Cagar Budaya Nasional Pojok Gunung Kekenceng, Tedi Ginanjar menjelaskan, awal mulanya wilayah Cireunghas pada zaman dahulu merupakan bagian dari Kecamatan Sukaraja. Lalu terjadi pemekaran sekitar tahun 2.000 masehi.
Baca Juga: Cerita Pohon Bolong dan Rumor Kisah Mistis di Pendakian Gunung Kerinci
Menurut kepercayaan masyarakat, suara gong dan gamelan muncul pada waktu-waktu tertentu. Suara itu disebut bersumber dari kehidupan dunia lain yang dikaitkan dengan kerajaan makhluk halus bangsa jin.
“Terkait cerita mistis itu, masyarakat di Kecamatan Cireunghas sudah mafhum (paham) bahwa pada waktu-waktu tertentu di Gunung Goong sering terdengar suara gong berkali-kali ditabuh dan terkadang bunyi gamelan layaknya ada sebuah pesta pernikahan,” ujar Tedi.
Selain dipercaya sebagai sebuah kerajaan makhluk halus, Gunung Goong juga disebut-sebut sebagai tempat pertemuan para Raja dan Ratu. Nyi Roro Kidul dikisahkan melakukan perjalanan menuju Gunung Manglayang lewat Sungai Cimandiri, sedangkan Raden Surya Kencana melakukan perjalanan dari Gunung Gede.
“Masyarakat dulu pun mempercayai bahwa antara Gunung Gede, Gunung Manglayang dan Gunung Padang Cianjur yang terdapat situs Megalithikum itu merupakan sebuah kesatuan wilayah kerajaan mahluk halus yang berpusat di Gunung Gede Pangrango,” ungkapnya.

Terlepas dari mitos yang berkembang di masyarakat, Gunung Goong sudah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda melalui Staats Spoorwegen (SS) atau Perusahaan Kereta Api Negara. Saat itu, mereka gencar melakukan pembangunan jalur Kereta Api pada paruh kedua abad ke-19 yakni dari Stasiun Sukabumi hingga ke Stasiun Cianjur pada 10 Mei 1883 dengan panjang jalur mencapai 39 kilometer.
“Upaya pemerintah kolonial dalam membuka jalur kereta api ke wilayah pedalaman Jawa Barat dimaksudkan untuk mempermudah mengangkut hasil bumi seperti teh, karet, kopi dan kina. Nantinya hasil bumi tersebut akan dikirimkan ke ibukota koloni di Batavia (Jakarta) yang sudah terhubung dengan jalur kereta api di Buitenzorg (Bogor) sejak 31 Januari 1873,” jelasnya.
Baca Juga: Gunung Bunder: Tempat Trekking Santai Diapiti Curug-curug Cantik
Suara Gong sebagai Penanda
Selain perihal ekonomi, jalur kereta itu juga digunakan untuk kepentingan militer dalam ‘membersihkan’ Bumi Putera yang menantang kebijakan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tokohnya ialah Raden Prawata Sari.
“Jalur Sukabumi-Cianjur dikenal dengan jalur yang meliuk-liuk di daerah perbukitan. Tak hanya itu, sebuah terowongan dengan panjang 686 meter bernama terowongan Lampegan (1882) juga cukup terkenal di daerah tersebut,” ucap dia.
Pembangunan jalur kereta dari Stasiun Gandasoli-Stasiun Cireunghas menggunakan para pekerja dengan sistem Rodi. Mereka adalah tawanan perang Diponegoro dan tahanan lainnya serta dibantu penduduk sekitar.
Pada waktu, kata dia, wilayah tersebut masih berupa hutan rimba dan banyak dihuni binatang buas disepanjang alur sungai Cimandiri yang kini menjadi jalur kereta kedua desa tersebut. Di Kampung Cibenteng yang berdekatan dengan sungai Cimandiri, pihak Belanda membangun benteng tentara yang mengawasi para pekerja.

Kemudian di atas bukit yang berada di sebelah utara antara benteng dan jalur kereta api, pemimpin tentara Belanda menaruh gong besar. Gong tersebut akan ditabuh sebagai sinyal bagi para pekerja paksa.
“Gong akan ditabuh untuk keperluan penanda waktu mulai bekerja, istirahat, selesai pekerjaan, adanya bahaya dan sebagainya. Sejak saat itulah bukit tersebut dinamai oleh masyarakat dengan sebutan Gunung Goong,” katanya.