Pendakicantik.com – Secangkir kopi di tangan kiri dan sebuah pena di tangan kanan, pagi ini ku awali hari dengan mulai menulis sebuah pengakuan untukmu.
Tentang sesuatu yang sangat mengganggu pikiran dan mungkin sangat tak berarti lagi bagimu. Tetapi, kali ini aku harus jujur. Aku bercerita seolah hanya pada secangkir kopi.
Baca Juga: Pulau Kelor: Destinasi Wisata Sejarah dengan View Indah yang Sarat Makna
Setidaknya ibu dapat tahu mengapa di tiap malamku saat sedang tertidur, aku suka bergumam dan menyebut namamu. Aku yang selalu berteman secangkir kopi yang kian dingin.
story wa pendaki cantik menikmati kopi di puncak gunung
Kamu boleh saja tertawa jika aku terlihat dan terkesan begitu konyol membicarakan apa yang semestinya tidak ingin kau dengar. Biarkan alam dan kopi hitamku yang tau segalanya.
Goresan Hati Secangkir Kopi yang Bertutur tentang Rindu dan Kamu dari Ketinggian
Tetapi, jika memang seandainya kau tertawa, aku malah takut itu justru akan membuatku semakin ingin segera bersua dan berbagi kisah lagi denganmu.
Baca Juga: Rekomendasi Gunung di Wilayah Pangandaran yang Cocok buat Healing
Mungkin kau tak akan pernah lagi mengingat, kapan dan dimana pertama kali kita bertemu. Tetapi, aku mengingatnya dengan sungguh. Ingatan tentang itu selalu dan selamanya membekas.
Semula, aku menduga bahwa jatuh cinta adalah kesalahan terbaik untuk bahagia. Namun, saat menuju puncak dan bertemu denganmu pada saat itu, aku kemudian menyadari itu salah.
Perihal sebelum kenangan ini, tepat saat pijakanku masih berada di titik terendahnya hatimu. Aku sama sekali tak pernah menemukan jalan untuk meninggalkan jejak sepatuku di setiap jalan yang kulalui dengan petunjukmu.
Jalan yang kutemui hanya jalan-jalan yang dipenuhi belukar, pohon-pohon yang rentah, tanah yang lebam akibat bekas hantaman embun-embun yang satu demi satu jatuh dari pucuk matamu saat rapuh ketika termarahi hari dan masa lalu.

Pelukan langit buat awan kian cerahkan pagi dan juga kita
Sedikit pun endapan air yang menjelma kristal kekecewaan beberapa bulan yang lalu sedikit mengubahnya menjadi benih bahagia yang berharga. Yang akan tumbuh berbuah senyum atau mungkin murung.
Semenjak jari dan hatiku ikhlas mengabadikanmu ke dalam sebuah buku sederhana, aku tidak punya lagi cara bertemu denganmu dalam satu jalur yang menyamakan tujuan.
Baca Juga: Seorang Pendaki Alami Kejadian Mistis saat Solo Hiking ke Gunung Lawu
Yang kumaksud bahagia itu, bukan saat segala yang kau impikan ada pada mimpiku yang belum sempat kubagikan padamu yang berkemas nyata dalam angan serta nyatamu.
Atau mungkin saja Tuhan tidak sengaja mempertemukan pertemuan kita menjadi berharga atas karena pilihan; tak ada lagi jalan. Mungkin saja.
Sekian lama, sekian sabar sedikit demi sedikit gugur dihantam oleh rongrongan perasaan yang begitu lama dan dalam yang tengah bersemayam, sendiri.
Mengapa masih saja mencintai sosoknya yang tidak lagi memperhatikanmu bahkan mungkin kini mengabaikan hadirmu.

Bukankah cinta tak selamanya mesti menunggu atau ditunggu.
Seolah-olah tubuhku dipenuhi kebodohan yang memuncak hingga menutupi wajah lalu mataku, untuk menyaksikan keindahan dan merasakan jatuh cinta kepada hati yang lain.
Bukan karena aku menyukaimu sejak dulu .. Atau karena hatiku selalu merasa sendiri melihat banyak keramaian di depan mata. Namun, karena aku tidak mampu menciptakan sebuah kalimat puitis yang tersiratkan alasan yang dapat menjawab kata mengapa itu.
Baca Juga: Edelweiss: Bunga Abadi yang Dilindungi dan Bisa Mekar sampai 10 Tahun
Bagaimana jika saat hatimu yang masih dirajai oleh sosok yang begitu tangguh dan penuh kenang dalam kastil cintamu di sebuah lembah yang kusebut kenangan?
Harapan terjungkal. Harapan dan angan untuk mewujudkan mimpi bersama mulai terbangunkan. Senyum itu meng-iyakan pertanyaan di dalam hatiku.
Sebelumnya, pintaku sedikit merasakan pahitnya ragu saat menyeruput jawaban atas pertanyaanku yang sebenarnya berniat ajakan. Wajahmu menerbitkan fajar yang begitu indah dan hangat saat baru saja bangun meninggalkan mimpi; berlari mewujudkannya.

Kemudian, saat lekas meninggalkan, wajahmu kembali membenamkan sebuah senja yang sangat cantik. Secantik saat kau lelah menapaki permukaan gunung bersamaku yang terus-menerus mematahkan permukaan yang datar; sedatar perasaan, mungkin.
Senja yang menggambarkan sebuah penyesalan-penyesalan masa lalu yang berbentuk kepingan air mata saat engkau menceritakan semuanya. Namun, hingga detik ini, wajahku belum mengerti akan wajahmu yang mengapa dan bagaimana aku dapat jatuh cinta kembali kepadamu.
Demi waktu, kau tak mampu lari dari hatimu sendiri kan? Itulah perihal mengapa aku amat sangat mencintai waktu. Sebab hanya waktu yang bisa menyatukan kita. Mungkin, cinta masih belum mampu.
Baca Juga: Seorang Pendaki Alami Kejadian Mistis saat Solo Hiking ke Gunung Lawu
Setidaknya kau pahamkan dengan maksud hatiku yang mencoba lapang di hadapanmu yang bersahaja. Sudah kau layangkan, beberapa lisanku mungkin sulit kau pahami.
Manakala kau menarik-ulurnya dengan ketidaksadaran, aku tidak akan pernah selalu merasa tersakiti oleh dewasamu. Mengapa? Karena senyumanmu selalu menghantarkan tubuhku ke suatu tempat yang tak pernah kuimpikan.
Tuhan selalu punya cara menyatukan manusianya dengan membuatnya mengerti mengapa ia tak disatukan. Seperti air dan api, yang selalu tak pernah menyatu.
Namun, saling membutuhkan untuk satu unsur yang merasa mencintai dan dicintai. Bersama saat menuju puncak. Menyaksikan keindahan dan gambaran alam Tuhan yang begitu hebat dan luar biasa, indah sambil menyeruput secangkir kopi berdua.

Pagi ini, sekali lagi dengan secangkir kopi dan sebuah pena di tangan kanan, aku ingin membuat pengakuan untukmu. Berlatar gunung yang entah apa namanya, aku ingin kau tahu kalau aku dan kopi selalu merindukanmu.